Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat Datang di Laman Web MI ................................. Semoga bermanfaat untuk kita. Amiin

Visi Madrasah

Terwujudnya .............................. (dalam pengembangan)

Mutiara Hikmah

Sebaik-baik manusia adaalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya

Motivasi

Orang yang selalu beralasan selamanya tidak akan menemui kemajuan pada dirinya

Head Office

Jl. Raya ........................... Trenggalek

Minggu, 26 Februari 2012

Karya anak

Pengembangan

FILSAFAT PEMIKIRAN SOCRATES DAN KAUM SOFIS


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Mengkaji pengertian filsafat islam tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia sarat dengan muatan teologis dan historis. Dua hambatan ini, perlahan tetapi pasti akhirnya dapat diakomodisikan dan tidak menjadi hambatan selanjutnya. Secara historis, tarik menarik kepentingan bahwa filsafat itu murni atau tidak murni dari islam adalah fakta yang tidak bisa disadari.
             waktu yang panjang mengantarkan kepada konvensi antar ilmuwan bahwa filsafat islam memiliki pengertian tersendiri karena ia memiliki sumber utama yakni Al-Qur’an. Atas kenyataan ini, beragam definisi pun mengalir dari berbagai tokoh tentang pengertian filsafat islam. Disamping penyebutan istilah, filsafat islam atau filsafat arab[1].
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad. 
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam[2].

B.  Permasalahan
Upaya yang dilakukan dalam hal memadukan filsafat dengan agama merupakan suatu hal yang lebih penting dan lebih jelas sebagai penerimaan terhadap filsafat yunani. Karena tidak mungkin filsafat yunani dapat diterima di kalangan islam, manakala pemikiran-pemikiran filsafat bertentangan dengan kepercayaan islam.
Filsafat yunani paling dominan masuk kedunia islam ditandai dengan adanya penterjemahan  buku-buku filsafat. Upaya-upaya umat islam ini dapat memunculkan tokoh filusuf islam yang terkenal ke dalam atau luar islam diantaranya adalah Ibnu Sina.
Dalam makalah ini kami akan membahas pemikiran tentang Tuhan, alam, manusia, jiwa, akal menurut Ibnu Sina.
































BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Ibnu Sina
Ar-Ra’is Ali Husain bin Abdullah bin Ali al-Hamadani Ibn. Dilahirkan pada tahun 980 M di sebuah desa bernama Asfshana, dekat Bukhara yang saat ini terletak dipinggiran selatan Rusia. Ayahnya bernama Abdullah berasal dari desa yang terletak dekat Bukhara.
Ibn Sina adalah filosof dan ahli kedokteran muslim paling popular saat ini. Didunia Barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna. Sebagai anak-anak, ia telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Diusia 10 tahun, ia sudah fasih dalam membaca dan memahami Al-Qur’an serta menguasai sebagia besar bahasa arab. Selama enam tahun berikutnya, ia mempersembahkan karyanya sendiri;hokum islam, filsafat ilmu alam, manthiq (logika) dan matematika geometri[3].
Sewaktu berumur 17 tahun ia memusatkan perhatiannya pada bidang kedoteran dan ia telah dikenal sebagai dokter. Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain lengkap, disusunnya secara sistematis.
Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri, yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang karena peperangan - peperangan yang meraja lela di sebelah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.”
Karya - karya Ibnu Sina yang ternama dalam lapangan Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al Isyarat. An-Najat adalah resum dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, dikarangkannya kemudian, untuk ilmu tasawuf. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan - karangan pendek yang dinamakan Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk baru dan segera dikarangnya. Sekalipun ia hidup dalam waktu penuh kegoncangan dan sering sibuk dengan soal negara, ia menulis sekitar dua ratus lima puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur adalah “Qanun”  yang  merupakan ikhtisar pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universita Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “Kitab As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak filsafat paripatetik dalam Islam[4].
Pada waktu usianya mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan Bukhara untuk menuju ke Jurjan dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Karena kekacauan politik ibnu sina tidak lama tinggal disitu. Kemudian hidupnya berpindah pindah. Namun pada akhir kehidupannyaia kembali ke Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428/1037 M. Pada usia 57 tahun[5].

B.  Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
Untuk mengetahui filsafat Ibnu Sina, terlebih dahulu perlu diketahui kerangka berfikir Ibnu Sina. Kerangka pikirnya itu terlihat dari segi pembagian ilmu dan tujuan filsafat yang dibuat Ibnu Sina.
Ibnu Sina memahami tujuan filsafat adalah penetapan realitas segala sesuatu, sepanjang hal itu mungkin bagi manusia. Ada dua tipe filsafat, teoritis dan praktis. Yang pertama mencari pengetahuan tentang kebenaran sedangkan yang kedua pengetahuan tentang kebaikan. Tujuan filsafat teoritis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan semata-mata. Tujuan filsafat praktis adalah menyempurnakan jiwa melalui pengetahuan tentang apa yang seharusnya dilakukan sehingga jiwa bertindak sesuai dengan pengetahuan ini. Filsafat teoritis adalah pengetahuan tentang hal-hal yang ada bukan karena pilihan dan tindakan kita, sedangkan filsafat praktis adalah pengetahuan tentang hal-hal yang ada berdasarkan pilihan dan tindakan kita[6].

v  Filsafat Tuhan
Sepertinya halnya filusuf lain, wujud Tuhan adalah fokus utama hampir semua filusuf, tak terkecuali Ibnu Sina. Pembahasan ini kan selaras ketika memahami konsep metafisika Ibnu Sina.
Menurut Ibnu Sina, metafisika adalah ilmu yang memberikan pengetahuan tentang prinsip-pinsip filsafat teoritis. Metafisika berhubungan dengan maujud (eksisten atau yang ada) sepanjang ia ada, maksudnya, berhubungan dengan maujud mutlak atau umum dan berhubungan dengan apa yang terkait dengannya[7].
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1.  Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2.  Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.  Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud
Dalam pembagian wujud kepada wajib  dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh  oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut[8] :
1.   Perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid)
yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

2.   Perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun.
Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali.
3.   Manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.
                                    Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, karena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.
4.    Perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu.
                                    Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.

Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir oleh mereka kemungkinan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan alam dengan Tuhan[9].

v  Filsafat Jiwa
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke sepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.
Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
1. Segi fisika yang membicarakan tentang macam - macamnya jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa manusia). Pembahasan kebaikan - kebaikan, jiwa manusia, indera dan lain - lain serta pembahasan lain yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya.
2. Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud dan hakikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.
Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :
1. Jiwa tumbuh – tumbuhan, dengan daya - daya :
Makan (nutrition), Tumbuh (growth),  Berkembang biak (reproduction)
2.  Jiwa binatang,dengan daya - daya :
Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua bagian :Menangkap dari luar dengan panca inderadan menangkap dari dalam dengan indera - indera dalam. Indera bersama yang menerima segala apa yang ditangkap oleh panca indera, Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama, Imaginasi yang dapat menyusun apa yang disimpan dalam representasi, Estimasi yang dapat menangkap hal - hal abstraks yang terlepas dari materi umpamanya keharusan lari bagi kambing dari anjing serigala, Rekoleksi yang menyimpan hal - hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
3. Jiwa manusia, dengan daya - daya :
 Praktis yang hubungannya dengan badanTeoritis yang hubungannya adalah dengan hal - hal abstrak. Daya ini mempunyai tingkatan :
a.     Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikitpun.
b.    Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal - hal abstrak.
c.     Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d.    Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu pada daya upaya
Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa tumbuh - tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaikat dan dekat dengan kesempurnaan.
Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi - fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.
Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu[10] :
1.     Dalil alam - kejiwaan (natural psikologi).
2.     Dalil Aku dan kesatuan gejala - gejala kejiwaan.
3.     Dalil kelangsungan (kontinuitas).
4.     Dalil orang terbang atau orang tergantung di udara

Dalil – dalil tersebut apabila diuraikan satu persatu adalah sebagai berikut :
1.     Dalil Alam Kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa – peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan (idrak, pengetahuan).
Gerak ada dua macam yaitu :
1)    Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2)    Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :
a.     Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas ke bawah.
b.     Gerak yang  terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang berjalan di bumi, sedang berat badannya seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang terbang menjulang di udara, yang seharusnya jatuh (tetap) di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur – unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut ialah jiwa.
2.  Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.
Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan saya keluar atau saya tidur, maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.
3. Dalil Kelangsungan (kontinuitas).
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada hubngannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang telah lewat. Kalau kita ini bergerak dalam mengalami perubahan, maka gerakan – gerakan dan perubahan tersebut bertalian satu sama lain dan berangkai – rangkai pula. Pertalian dan perangkaian ini bisa terjadi karena peristiwa – peristiwa jiwa merupakan limphan dari sumber yang satu dan beredar sekitar titik tarik yang tetap.
Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam, bahkan telah mendahului masanya beberapa abad, karena pendapatnya tersebut dipegangi oleh ilmu jiwa modern dan telah mendekati tokoh – tokoh pikir  masa sekarang.
4.  Dalil Orang Terbang atau Tergantung di Udara.
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau   pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan yaitu jiwa.
v  Filsafat Akal
Didalam diri manusia terdapat kekuatan yang membedakannya dari binatang dan benda lain. Kekuatan ini bernama jiwa rasional (an nafsu an nathiqoh). Ia ada pada setiap tanpa kecuali. Namun tidak ada pada orang pada sifat-sifat yang khusus, karena kemampuan jiwa rasional itu berbeda-beda diantara banyak orang. Maka demikianlah, ada kekuatan pertama yang mampu menerima gambaran tentang bentuk-bentuk universal yang diabstrakan dari benda dan yang pada dirinya tidak mempunyai bentuk. Oleh karena itu, kekuatan pertama ini dinamakan al-aql al al harjulani (akal material). Kekuatan adalah kekuatan dalam potensialitas, sama dengan api potensial dingin, tidak dalam pengertian bahwa api mempunyai banyak kemampuan untuk membakar. Kemudian ada kekuatan kedua yang mempunyai kekuatan serta kesediaan positif untuk menangkap bentuk-bentuk universal, karena bentuk-bentuk itu mengandung pikiran yang telah diterima dan bersifat umum. Ia juga merupakan kekuatan dalam potensialitas, tetapi dalam pengertian, seperti api mempunya potensi untuk membakar.
Disamping ada kekuatan yang kedua itu ada kekuatan ketiga yang secara aktual menangkap bentuk-bentuk pengertian universal, dimana kekuatan kedua tadi menjadi bagian bila kekuatan-kekuatan itu telah menjadi aktual. Kekuatan yang ketiga inilah yang disebut kekuatan Mustafad (kekuatan yang diperoleh karena latihan). Kekuatan Mustafad secara aktual tidak terdapat dalam akal materi, jadi juga tidak terdapat didalamnya secara esensial. Karena itu adanya akal mustafad dalam akal material itu disebabkan adanya sesuatau yang lain didalamnya terkandung akal mustafad secara esensial dan yang menyebabkan wujud, dengan sesuatu itulah apa yang potensial menjadi aktual, kekuatan inilah yang disebut akal universal, jiwa universal, dan jiwa alam.
Pemahaman sesuatu yang secara esensial memiliki kemungkinan untuk bisa dimengerti hal ini terjadi secara langsung atau tidak langsung. Demikian pula pemahaman dari akal aktif universal (al aql af’al al kulli) terjadi dengan cara yang sama. Yang secara langsung adalah seperti penerimaan akan pemikiran-pemikiran umum dan kebenaran-kebenaran yang jelas pada dirinya. Sedang penerimaan secara perantara adalah seperti penerimaan pengertian-pengertian sekunder dengan perantara pengertian-pengertian primer dan penerimaan yang terjadi dengan menggunakan alat-alat atau benda-benda seperti indra akal sehat (al hiss al mustarok) dugaan dan pikiran. Karena jiwa rasional itu menerima pengertian kadang-kadang secara langsung dan kadang-kadang secara tidak langsung, maka kemampuannya untuk menerima secara langsung tidak berada pada dirinya secara esensial, melainkan secara oksidensia (kebetulan). Sebab itu kemampuan itu terdapat secara esensial pada sesuatu yang lain, yang darinya jiwa rasional mendapatkan kemampuan tadi. Sesuatu yang lain ini dinamakan akal malaikat, yang secara esensial mampu menerima perantara bagi kekuatan-kekuatan lainnya lagi untuk bisa menerima.      
Akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Menurut Ibnu Sina ada dua macam akal yaitu akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah di luar daya kekuatan manusia, yaitu semua pemikiran manusia yang mendatang ke dalam akal manusia dari limpahan ilham ke Tuhan. Akal (pemikiran) membawa alam semesta ini ke dalam bentuk-bentuk.
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal  intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
v  Filsafat Alam
Asal usul terjadinya alam menurut ibnu sina pada hakekatnya problema penafsiran tentang adanya pergandaan dialam wujud ini dan bagaiman keluarnya dari “yang satu” merupakan kesulitan yang dihadapi para filosof yunani, yang kemudian dengan keras diusahakan pemecahannya oleh para filosof arab. Menurut kaidah yang dirumuskan : “yang satu” hanya dapat keluar “yang satu” pula. Maka yang keluar atau berasal dari Tuhan hanyalah ‘sesuatu yang satu” itulah menurut ibnu sina keluar pergandaan secara tiga-tiga (tsulasiyah), yaitu : 1) karena Al-Aqlu Awwal (akal pertama) mengerti akan Al-Awwal (yakni Tuhan) maka terjadilah “akal” di bawhnya (yakni lebih rendah daripada ‘akal pertama”). 2) Karena akal yang lebih rendah itu mengerti akan zatnya sendiri maka terjadilah al-Falakul Aqsha (cakrawal tertinggi) yang kesempurnaannya berupa an-nafs (soul). 3) Karena watak yang memungkinkan terjadi eksistensi yang lebih rendah (al-mudarijah) sebagai hasil dari pengertian akan zatnya sendiri maka terjadilah al-falakul aqsha (cakrawal tertinggi)
Dengan perkataan yang lebih jelas ialah : Dari akal keluarlah tiga eksistensi, yaitu :akal, nafs (soul) dan jisim (materi)
Kita telah mengetahui, bahwa dari Al-Wajibul Wujud turun secara berurutan dan teratur beberapa eksistensi hingga pada Al-Aqlu ‘Asyir dan planet bulan. Kemudian timbullah alam unsur, yaitu alam kaun al-fasad (alam kejadian dan keusakan yakni alam dunia) dengan empat unsur yang ada didalamnya : api, udara, air dan tanah. Dari empat unsur itulah terjadi benda-benda logam, kemudian meningkat menjadi tumbuh-tumbuhan, lalu meningkat lagi menjad hewan dan jadi manusia sebagai hewan yang paling sempurna dan paling mulia. 
Jadi ibnu sina menafsirkan semua yang ada di alam wujud berasal dari al-awwal melalui proses perlimpahan (faidh) hingga sampai kepada alam anasir dan segala sesuatu yang bersifat majemuk (compound). Tegasnya ialah bahwa materi terlimpah dari form (bentuk)[11].

v  Filsafat Manusia
Ibnu Sina yang sejak semula menjadi penganut aliran Aristotoles dan memandang manusia sebagai benda alam (natural-matter) yang mempunyai bentuk disebut “jiwa” yang merupakan kesempurnaanya yang pertama dan sebagai sebagai titik pemusatan fungsinya yang vital dan tak terpisahkan dari jasmaninya, pada akhirnya ibnu sina sampai pada teori yang mempertahankan pengertian bahwa manusia terdiri dari dua subtansi : jiwa dan raga. Subtansi jiwa berlainan dengan subtansi raga dan erpisah terutama setelah manusia itu mati.
Ibnu sina mendukung aliran yang berpendapat bahwa raga berlainan dengan jiwa. Jiwa adalah substansi rohani yang terlimpah ke dalam wadah yang berupa raga, kemudian menghidupkannya. Lalu raga itu dijadikan alat untuk memperoleh ilmu dan pengetahuan. Dengan demikian maka substansi manusia menjadi sempurna dan mengenal Tuhannya, mengenal semua hakekat yang menunjukkan kekuasaan Tuhannya dan pada akhirnya siap kembali kepada-Nya dan menjadi salah seorang malaikat-Nya yang senantiasa berada dalam kebahagiaan yang tiada habis-habisnya.
Tentang substansi jiwa, ibnu sina menampilkan tiga dalil pembuktiaan, pertama pada saat anda merenungkan diri anda, anda akan mengetahui bahwa anda adlah anda yang maujud (exist) selama hiduo anda. Jadi anda tidak ragu bahwa anda lestari. Kedua, bila manusia menumpahkan seluruh perhatiannya pada suatu persoalan ia tentu menghadirkan zatnya dan seakan-akan ia berkata : aku kan berbuat begini atau begitu. Dalam keadaan seperti itu ia lupa akan semua anggota tubuhnya. Dengan demikian maka jelaslah bahwa zat (substansi jiwa) manusia berlainan dengan raganya. Ketiga, manusia dapat berkata : aku melihat dengan mataku, aku mengambil dengan tanganku, aku berjalan dengan kakiku, Dari pernyataan itu kita tentu dapat mengetahui, bahwa pada manusia terdapat sesuatu yang menghimpun semua penglihatan dan perbuatan yang dilakukannya.
Jadi yang disebut dengan manusia adalah “saya” yang dapat dirasakan oleh setiap orang dan “saya” itulah sumber perbuatan yang dilakukan masing-masing dari kita. Dari titik tolak pandangan tersebut maka pada saat manusia menyadari zatnya ia menjadi manusia yang menentukan dirinya sendiri. Bebas memilih jalan yang baik atau yang buruk dan bertanggungjawab atas perbuatannya dengan ganjaran baik  atau mendapat hukuman sesuai dengan perbuatan[12].







BAB III
KESIMPULAN

Ibnu Sina memiliki pemikiran keagamaan yang mendalam. Pemahamannya mempengaruhi pandangan filsafatnya. Ketajaman pemikirannya dan kedalaman keyakinan keagamaannya secara simultan mewarnai alam pikirannya. Ibnu Rusyd menyebutnya sebagai seorang yang agamis dalam berfilsafat, sementara al-Ghazali menjulukinya sebagai Filsuf yang terlalu banyak berfikir.
Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan dariNyalah memancar segala yang ada.
Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mustahil). 
Manusia terdiri dari dua subtansi : jiwa dan raga. Subtansi jiwa berlainan dengan subtansi raga dan erpisah terutama setelah manusia itu mati.
Didalam diri manusia terdapat kekuatan yang membedakannya dari binatang dan benda lain. Kekuatan ini bernama jiwa rasional (an nafsu an nathiqoh).
jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan.












DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi,Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia: 2009)
 http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm
Fuad , Alahwani, Ahmad, Filsafat Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus: 1991)
Mustofa, A,  Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia: 1997)
Labib ,Muhsin, Para Filosof, ( Jakarta : Al-Huda: 2005)


[1] Dedi supriyadi, pengantar filsafat islam, hal : 24
[2] http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm
[3] Muhsin Labib, para filosof, hal : 118-119
[4] http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm
[5] Drs. H. Mustofa, Filsafat Islam, hal :189
[6] Dedi supriyadi, M.Ag, Pengantar Filsafat Islam, 126-127
[7] Ibid, hal : 128
[8] http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm
[9] http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm
[10] Drs. H. Mustofa, Filsafat Islam, hal :203-208
[11] Dr. Ahmad Fuad, Filsafat Islam, hal : 115-117
[12] Ibid,  hal : 126-127